Nama aslinya Masjid
Nurul Yakin. Lokasinya di Kampung Bayur, Priuk Jaya, Jatiuwung, Kabupaten
Tangerang, Banten. Cukup mudah dijangkau dengan mobil. Hanya beberapa menit
dari pusat Kota Tangerang.
Disebut
Masjid Pintu Seribu karena memiliki begitu banyak pintu. Bahkan, pengelola
masjid pun tidak tahu persis berapa jumlah pintu yang ada. Karena mereka tidak
pernah menghitung jumlah pintu yang ada di masjid itu.
Dari
segi usia, masjid ini tergolong muda. Didirikan sekitar tahun 1978. Pendirinya
seorang warga keturunan Arab yang warga sekitar menyebutnya dengan Al-Faqir.
Semua pembiayaan ia tanggung sendiri. Sebagai penghormatan, warga sekitar
memberinya gelar Mahdi Hasan Al-Qudratillah Al-Muqoddam. Kabarnya, Al-Faqir
juga sedang membangun masjid serupa di Karawang, Madiun, dan beberapa kota lain
di Indonesia.
Pembangunan
masjid ini bahkan tidak memakai gambar rancang. Tidak ada disain dasar yang
bisa menampilkan corak arsitektur tertentu. Ada pintu-pintu gerbang yang sangat
ornamental mengikuti ciri arsitektur zaman Baroque, tetapi ada juga yang bahkan
sangat mirip dengan arsitektur Maya dan Aztec.
Sekarang,
bangunan mesjid ini sudah mencapai luas sekitar satu hektar. Diharapkan akan
semakin banyak warga kampung mewakafkan tanahnya untuk memperluas bangunan mesjid
di masa datang.
Di
beberapa pintu, tampak ornamen dengan angka 999. Menurut Pak Karim, salah
seorang pengurus, angka itu merupakan simbolisasi asma Allah.
Di
antara pintu-pintu masjid terdapat banyak lorong sempit dan gelap yang
menyerupai labirin. Di ujung lorong ada beberapa ruang berukuran sekitar 4 kali
3 meter persegi. Ruang-ruang diberi nama, antara lain, Fathulqorib,
Tanbihul-Algofilin, Safinatul-Jannah, Fatimah, dan lain-lain.
Salah
satu ruang bawah tanah itu ada yang agak luas. Di sini terdapat sebuah tasbih
superbesar dari kayu. Garis tengah masing-masing butir tasbihnya sekitar 10
sentimeter. Atau sekitar kepalan orang dewasa. Ruang ini biasa dipakai Al Faqir
untuk berzikir.
Biasanya,
pemandu sengaja mematikan lampu di ruangan itu, dan mengajak yang hadir untuk
membayangkan saat-saat di alam kubur yang begitu sempit, pengap, dan gelap.
Kemudian ia mengajak berdoa bersama dalam keheningan dan kegelapan.
Semua
lorong-lorong itu akhirnya menuju sebuah ruang terbuka yang mirip stadion sepak
bola. Di tempat inilah dilakukan shalat berjamaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar