Borobudur
adalah nama sebuah candi
Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi
adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang
dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.
Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha
Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
Dalam etnis Tionghoa, candi ini disebut juga 婆羅浮屠
(Hanyu Pinyin: pó luó fú
tú) dalam bahasa
Mandarin.
Borobudur
merupakan candi terbesar di Indonesia. Candi Borobudur yang
terletak di Magelang, Jawa Tengah, selain menjadi obyek wisata
yang ramai dikunjungi, juga menjadi pusat ibadat bagi penganut Buddha di
Indonesia khususnya pada setiap perayaan Waisak. Hal ini
sesuai dengan arti namanya yaitu "biara di perbukitan". Saat ini
Borobudur ditetapkan sebagai salah satu Warisan Dunia UNESCO.
Nama
Borobudur merupakan gabungan dari kata Bara dan Budur. Bara dari bahasa
Sansekerta berarti kompleks candi atau biara. Sedangkan Budur berasal dari kata
Beduhur yang berarti di atas, dengan demikian Borobudur berarti Biara di atas
bukit. Sementara menurut sumber lain berarti sebuah gunung yang
berteras-teras (budhara), sementara sumber lainnya mengatakan Borobudur berarti
biara yang terletak di tempat tinggi.
Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri
dari 10 tingkat, berukuran 123 x 123 meter. Tingginya 42 meter sebelum
direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah
digunakan sebagai penahan. Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa
Budha di kompleksnya. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan
tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang
berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat.
Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
- Kamadhatu, bagian dasar Borobudur, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu.
- Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka.
- Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang. Melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk.
- Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief yang akan
terbaca secara runtut berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk
candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat
melegenda, bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang
wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain itu, terdapat
pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief
tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian
saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran
yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara
singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief
yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum
karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi
pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab
akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela
manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan
baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan
merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah
berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk
menuju kesempurnaan.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam
deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai
dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan
pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada
sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang
dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan,
baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya
penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut
menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha,
putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief
tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang
secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di
sebut dharma yang juga berarti
"hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum
dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan
perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun
juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan
dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan
Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan
ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti
perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana.
Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya
keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling
terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita
Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong
ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya
mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.
Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana
yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab
lainnya yaitu Bhadracari.
Sumber
:
_Risky Lisa Graninda_26209186_Aspek Hukum Dalam Ekonomi_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar